RealEstat.id (Jakarta) – Indonesia terus memperkuat posisinya sebagai salah satu pasar strategis bagi industri data center di kawasan Asia-Pasifik.
Dorongan utama datang dari lonjakan permintaan terhadap fasilitas yang siap menghadapi era kecerdasan buatan (AI).
Namun, tren positif ini juga diiringi tantangan besar, terutama meningkatnya biaya operasional akibat pergeseran menuju sistem berdensitas tinggi, teknologi liquid cooling, dan kebutuhan daya listrik bertegangan tinggi.
Laporan Data Centre Construction Cost Index 2025 yang dirilis oleh perusahaan jasa profesional global Turner & Townsend mencatat bahwa Jakarta menempati peringkat ke-20 dalam daftar biaya konstruksi data center dunia—turun enam peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Baca Juga: Investasi Rp37 Miliar, DAMAC Digital Bangun Pusat Data AI Terbesar di Indonesia
Dengan biaya konstruksi rata-rata Rp187.207 per watt, Jakarta masih tergolong kompetitif dibandingkan Singapura (Rp257.681) dan Tokyo (Rp253.005).
Meski demikian, sejumlah faktor masih menjadi tantangan utama bagi pertumbuhan industri ini.
Keterbatasan Daya dan Infrastruktur
Sekitar 48% responden global menilai ketersediaan daya listrik sebagai hambatan utama dalam menyelesaikan proyek data center tepat waktu.
Di Indonesia, meskipun pasokan listrik nasional relatif memadai, keterbatasan pada jaringan transmisi tegangan tinggi masih menjadi kendala.
Pemerintah kini tengah memperluas infrastruktur energi dan digital guna mengantisipasi lonjakan permintaan dari proyek-proyek berbasis AI.
Baca Juga: Biaya Termurah, Potensi Terbesar: Indonesia Menarik Investor Konstruksi Global
Rantai Pasok Lokal Belum Sepenuhnya Siap
Sebanyak 83% ahli industri menilai rantai pasok domestik belum cukup siap mendukung teknologi pendinginan canggih yang diperlukan oleh data center dengan densitas tinggi.
Seiring meningkatnya permintaan, pengembang lokal dan regional mulai mengambil peran lebih besar, sementara kontraktor internasional kelas atas menghadapi biaya tinggi dan beban proyek yang menumpuk.
Indonesia memiliki keunggulan berupa ketersediaan air melimpah yang mendukung penerapan teknologi liquid cooling.
Namun, untuk proyek-proyek besar yang membutuhkan komponen dan teknologi khusus, ketergantungan pada pasokan internasional masih tinggi.
Baca Juga: Geser Data Center, Otomotif Dominasi Sektor Industri di Jabodetabek
Biaya Operasional Melonjak
Turner & Townsend memperkirakan permintaan daya dari data center berbasis AI akan meningkat hingga 165% di kawasan Asia-Pasifik pada 2030.
Kenaikan ini akan memperbesar tekanan terhadap infrastruktur dan mendorong biaya desain maupun operasional data center menjadi 2–3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan fasilitas konvensional.
Strategi Adaptasi dan Inovasi
Laporan tersebut merekomendasikan agar para pengembang meninjau kembali model pengadaan proyek untuk memperkuat rantai pasok dan menjaga ketepatan waktu pembangunan.
Inovasi desain yang hemat energi juga dinilai krusial guna mengurangi risiko keterlambatan dan tekanan pada sistem kelistrikan.
“Indonesia, dengan potensi pertumbuhan tinggi dan sumber daya yang berlimpah, tetap menjadi pasar kunci di Asia Tenggara,” ujar Sumit Mukherjee, Managing Director for Real Estate in Asia, Turner & Townsend.
Meskipun biaya konstruksi menurun, meningkatnya permintaan terhadap infrastruktur berbasis AI memberikan tekanan besar pada struktur biaya dan kapasitas jaringan listrik yang ada.
Baca Juga: Peluang Pertumbuhan Industri Data Center di Indonesia: The Wealth Report
“Investasi lanjutan dalam infrastruktur menjadi langkah penting agar Indonesia tetap kompetitif,” katanya.
Sementara itu, Paul Barry, Data Centres Sector Lead North America Turner & Townsend, menekankan pentingnya kesiapan energi dan adaptasi terhadap teknologi baru.
“Ketersediaan listrik menjadi hambatan kritis dengan waktu tunggu yang panjang untuk koneksi jaringan. Persaingan untuk mendapatkan daya juga semakin ketat seiring meningkatnya permintaan dari berbagai sektor,” jelasnya.
Lebih lanjut, Paul Barry menuturkan, data center berbasis AI lebih besar, lebih kompleks, dan jauh lebih boros energi.
“Karena itu, para pengembang perlu mulai mempertimbangkan solusi desain off-grid dan memastikan rantai pasokan yang kuat agar mampu memenuhi kebutuhan teknologi dan tenaga ahli di era baru ini,” tambahnya.
Baca Juga: Jabodetabek dan Batam Pimpin Ekspansi Data Center di Indonesia: Riset Colliers
Berikut tabel Data Centre Construction Cost Index (DCCI) 2025:
| Kota | 2025 DCCI (US$/Watt) | Peringkat 2025 | Perubahan Peringkat (2024–2025) |
|---|---|---|---|
| Tokyo | 15.15 | 1 | 0 |
| Singapore | 14.53 | 2 | 0 |
| Zurich | 14.24 | 3 | 0 |
| Osaka | 14.12 | 4 | -4 |
| Silicon Valley | 13.31 | 5 | -1 |
| New Jersey | 12.90 | 6 | -1 |
| Oslo | 12.41 | 7 | 2 |
| Auckland | 12.30 | 8 | -2 |
| Stockholm | 12.29 | 9 | 2 |
| Helsinki | 12.29 | 10 | -2 |
| Kuala Lumpur | 11.37 | 17 | 4 |
| Jakarta | 11.21 | 20 | -6 |
| Mumbai | 6.64 | 51 | -2 |
| Shanghai | 6.12 | 52 | -2 |
Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News











