Beranda Hukum & Regulasi Pondok Indah Golf Digeruduk Ormas, Ini Respons Pihak Pengembang dan DPP REI

Pondok Indah Golf Digeruduk Ormas, Ini Respons Pihak Pengembang dan DPP REI

Aksi organisasi massa di Pondok Indah Golf beberapa hari lalu dapat diduga dan dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum, pemaksaan kehendak, dan main hakim sendiri.

1441
0
Pondok Indah Golf Metropolitan Kentjana REI GRIB realestat.id dok
Foto: Istimewa
Google search engine

RealEstat.id (Jakarta) – Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (DPP REI) menyesalkan aksi massa yang terjadi di Pondok Indah Golf beberapa waktu lalu yang dinilai bisa mengganggu iklim investasi properti di Indonesia.

Pasalnya, kondisi yang kurang kondusif ini dikhawatirkan dapat menurunkan minat investor properti serta berdampak negatif terhadap perekonomian nasional.

Kepala Badan Advokasi dan Perlindungan Anggota DPP REI, Adri Istambul Lingga Gayo menegaskan saat ini masih ada terjadi tekanan dari kelompok masyarakat yang memanfaatkan isu politis lewat aksi demo atau pengerahan massa ke lokasi proyek pengembang.

Salah satu modus adalah dengan mengklaim kepemilikan lahan yang sudah dikuasai bahkan sudah dikembangkan oleh developer.

Baca Juga: Legal Audit, Atasi Sengkarut Sengketa Tanah

“Sebagai asosiasi pengembang tertua dan terbesar di Indonesia, DPP REI mengajak seluruh pihak untuk menghormati supremasi hukum dan tidak menciptakan preseden buruk yang dapat berdampak merugikan iklim investasi di sektor properti nasional,” tegas Adri kepada wartawan di Jakarta, Jumat (8/8/2025).

Sebagaimana kita ketahui, pada Rabu (6/8/2025) lalu massa yang ditengarai tergabung dalam ormas GRIB—yang diduga dari ahli waris Toton Cs—mendatangi kawasan Pondok Indah Golf yang merupakan lahan milik PT Metropolitan Kentjana Tbk (MKPI) di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Menurut Adri, selain menjatuhkan kredibilitas pengembang, aksi massa seperti itu sangat mengganggu stabilitas industri properti nasional. Apalagi, MKPI adalah perusahaan terbuka yang tercatat dan dipantau publik di pasar modal.

“DPP REI melalui Badan Advokasi dan Perlindungan Anggota telah meminta keterangan resmi dan melakukan investigasi kepada manajemen MKPI terkait peristiwa tersebut pada tanggal 7 Agustus 2025 di Kantor DPP REI,” katanya.

Dari pertemuan itu terungkap adanya tekanan yang ditujukan kepada MKPI terkait klaim masyarakat atas tanah Eigendom Verponding No. 6431 yang telah lama dikuasai dan dimanfaatkan perusahaan dalam proyek pembangunan kawasan Pondok Indah sejak tahun 1973.

Baca Juga: Waspada! Ini 5 Faktor Penyebab Sengketa Tanah Dalam Bisnis Properti

“Atas informasi yang diberikan PT Metropolitan Kentjana Tbk sebagai anggota REI, kami menyampaikan dukungan penuh dan akan terus mengawal seluruh anggota yang telah menjalankan kewajibannya dan taat secara hukum dan moral,” kata Adri.

Dalam kasus ini, PT Metropolitan Kentjana Tbk dinilai telah membuktikan kepatuhannya kepada aturan-aturan hukum yang berlaku, dan memenuhi semua kewajiban kepada negara dan masyarakat termasuk membangun fasos/fasum, memberi kontribusi pajak yang signifikan, serta mematuhi kode etik Sapta Brata REI.

Antara lain, MKPI telah memenuhi semua legalitas kepemilikan tanah di kawasan Pondok Indah tersebut. Berdasarkan penelusuran historis dan dokumen hukum, tanah yang dimaksud telah melalui proses nasionalisasi berdasarkan UU No. 1 Tahun 1958 dan SK Mendagri No. 198 Tahun 1961.

PT Metropolitan Kentjana Tbk telah memperoleh hak atas tanah tersebut secara sah melalui kerja sama dengan Pemda DKI Jakarta dan Panitia Sembilan yang melibatkan unsur pemerintah, termasuk Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Sertifikat resmi telah diterbitkan dan hingga saat ini tanah dikuasai secara legal oleh perusahaan. Selain itu, status tanah tersebut telah memiliki Keputusan hukum yang berkekuatan tetap (inkracht).

Baca Juga: Tiga Cara Mencegah Terjadinya Sengketa Tanah

Berulang kali gugatan dari pihak-pihak yang mengaku sebagai ahli waris telah diproses melalui jalur hukum, termasuk di Pengadilan Negeri, PTUN, hingga Mahkamah Agung melalui Peninjauan Kembali (PK), dan semuanya dimenangkan oleh PT Metropolitan Kentjana Tbk. Dengan begitu, kata Adri, tidak ada lagi proses hukum yang terbuka terkait sengketa tanah tersebut.

“Atas dasar itu, REI berkewajiban melakukan pembelaan kepada anggota kami ini. Kami berharap tidak ada lagi upaya pengerahan massa yang merugikan masyarakat dan menyebabkan banyak tamu termasuk orang asing yang sedang berolah raga di Pondok Indah Golf ketakutan,” tegasnya.

Dia juga berharap, kejadian serupa tidak terulang lagi agar tidak menjadi preseden buruk bagi pengembang-pengembang lain. Bila ada dasar legal yang kuat, dia pun mempersilakan para pihak untuk menggunakan jalur hukum.

Adri mengingatkan, industri properti telah memberikan kontribusi besar bagi pemasukan negara, dan membawa dampak berganda (multiplier effect) yang mampu menggerakkan ratusan industri ikutan di sektor riil, termasuk penyerapan tenaga kerja yang besar.

“Oleh karena itu, rusaknya iklim investasi dan kondusivitas berusaha di sektor properti akan menghancurkan salah satu penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia,” pungkasnya.

Baca Juga: ATR/BPN Tawarkan Skema Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan

Harus Dapat Perlindungan Hukum

Pada kesempatan tersebut, General Manager Legal Department PT Metropolitan Kentjana Tbk, Hery Sulistyono menjelaskan, aksi massa di Pondok Indah Golf pada 6 Agustus 2025 dapat diduga dan dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum, pemaksaan kehendak, dan main hakim sendiri.

Hal itu karena telah ada putusan-putusan yang mempunyai kekuatan hukum. Semuanya dimenangkan oleh perusahaan pengembang tersebut, serta dikuatkan dengan adanya SP3 dari Polda Metro Jaya dan surat dari Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Agung.

“Maka demi kepastian hukum, sudah seharusnya PT Metropolitan Kentjana Tbk mendapat perlindungan hukum dari pemerintah dan aparat penegak hukum lainnya. Selain itu, semua pihak tanpa terkecuali wajib mematuhi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum,” ujarnya.

Dalam keterangannya, PT Metropolitan Kentjana Tbk mengungkapkan bahwa objek sengketa adalah tanah eigendom verponding.

Baca Juga: Menunda Sertifikat Rumah KPR Bisa Jadi Bumerang Buat Pengembang

Sejak berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1958, maka seluruh tanah eigendom verponding di Indonesia otomatis menjadi tanah negara, termasuk dalam hal ini Eigendom Verponding No. 6431 sebagaimana ditegaskan pada SK Menteri Muda Agraria No.98/Ka tanggal 13 Januari 1960.

Di dalam SK Menteri Agraria No.198/Ka tanggal 4 Mei 1961, ditegaskan bahwa pemerintah bersedia memberikan ganti rugi kepada bekas pemilik Eigendom Verponding 6431 seluas ± 97.400 m2, namun dengan syarat:
(a) Tidak termasuk bagian yang diduduki oleh rakyat/pihak ketiga (pemilik harus menguasai fisik);
(b) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal SK, harus dilakukan pengukuran; dan
(c) 3 (tiga) bulan setelahnya harus diajukan permohonan.
Jika syarat-syarat tidak dipenuhi, maka SK ini dinyatakan batal.

“Seandainya syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka seharusnya pada tanggal 4 Februari 1962 ahli waris telah mendapat hak dari pemerintah (namun syarat ini tidak dipenuhi oleh ahli waris). Hal inilah yang terus dikaitkan kepada kami,” kata Hery.

PT Metropolitan Kentjana Tbk secara badan hukum baru berdiri tahun 1972 dan pada 17 September 1973 mengadakan Perjanjian Kerjasama dengan Pemda DKI Jakarta (Otorita Pondok Pinang) untuk mengembangkan daerah Pondok Indah (dahulu Pondok Pinang).

Baca Juga: Penting Disimak! Ranah Penyelesaian Sengketa Utang Pengembang Apartemen

Sehingga PT Metropolitan Kentjana Tbk tidak memiliki hubungan hukum dan tidak ada kaitannya dengan SK Menteri Agraria No.198/Ka tanggal 4 Mei 1961.

Berdasarkan Perjanjian Kerjasama tersebut di atas, untuk mendapatkan Tanah Bekas Eigendom Verponding (termasuk Eigendon Verponding 6431), maka PT Metropolitan Kentjana Tbk telah memenuhi ketentuan dan prosedur yang berlaku, yaitu:
(a) Telah memenuhi kewajiban kepada Pemda DKI sebesar Rp.960.000.000. (pada tahun 1973 nilai ini cukup besar),
(b) Untuk pembelian dan pembebasan tanah dilakukan bersama oleh Pemda DKI dan PT Metropolitan Kentjana Tbk dan juga melibatkan unsur-unsur terkait seperti Lurah, Camat, dan BPN.

Bahwa sesuai usulan dari Panitia A (Panitia Pemeriksa Tanah wilayah Jakarta Selatan) tanggal 24 Februari 1987 dan Pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Cq. Direktorat Agraria DKI Jakarta tanggal 25 Februari 1987 No.1.711.9/320/LR, telah dikeluarkan SK Mendagri
No.67/DJA/1987 yang pada intinya:
(a) Mencabut SK Menmud Agraria No.198/Ka tgl. 4 Mei 1961 dan SK Mendagri No.58/DJA/1984,
(b) Memberikan ganti rugi dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 UU No.1/1958 sebesar Rp146.000.000 kepada ahli waris Toton Cs yang dibebankan pada anggaran ganti rugi Direktorat Jenderal Landreform, Direktorat Agraria, yang disediakan oleh Departemen Keuangan (bukan kewajiban PT Metropolitan Kentjana Tbk).

Baca Juga: Mengamankan Investasi Properti Saat Terdampak Sengketa Utang di Pengadilan Niaga

Ahli waris Toton Cs berulang kali pernah menggugat PT Metropolitan Kentjana Tbk secara perdata dan pidana yang pada pokoknya menolak gugatan ahli waris.

Pengembang juga pernah dipanggil oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Kejaksaan Agung RI terkait dengan permasalahan ini, namun setelah dilakukan pemeriksaan dan menunjukkan beberapa putusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka baik Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Kejaksaan Agung menyatakan tidak terdapat adanya dugaan tidak pidana atau perbuatan melawan hukum dalam penerbitan SHGB di atas tanah Eig. Verponding 6431 a/n PT. Metropolitan Kentjana, Tbk.

Yang terbaru, ahli waris Toton Cs telah mengajukan permohonan penetapan dan pelaksanaan eksekusi atas Putusan PK No.55/PK/TUN/2003 ke PTUN. Dimana berdasarkan permohonan tersebut, PTUN telah mengeluarkan Surat Nomor 1847/Was.Eks/G/2025/PTUN.JKT tanggal 17 Juni 2025 yang
menyatakan Putusan Nomor: 81 K/TUN/2001 tanggal 2 Februari 2021 pada pokoknya Gugatan Penggugat/Terbanding tidak dapat diterima.

“Dengan begitu, putusan dalam perkara ini tidak mempunyai nilai eksekusi, sehingga permohonan eksekusi yang diajukan tidak dapat dilaksanakan,” jelas Hery Sulistyono.

Redaksi@realestat.id

Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News