Beranda Pasar Properti Sektor Industri Indonesia: Didorong Populasi, Tersandung Regulasi

Sektor Industri Indonesia: Didorong Populasi, Tersandung Regulasi

Dibanding negara-negara lain di kawasan ASEAN, sektor industri Indonesia memiliki kelebihan di mata investor mancanegara. Meski demikian, sejumlah masalah juga menunggu untuk dipecahkan.

195
0
esti susanti leads property kawasan sektor properti realestat.id dok
Esti Susanti, Head of Industrial Services PT Leads Property Services Indonesia. (Foto: Istimewa)
Google search engine

RealEstat.id (Jakarta) – Indonesia dinilai masih menjadi magnet investasi sektor industri yang menjanjikan di Asia Tenggara.

Namun, di tengah ketatnya persaingan dengan negara-negara seperti Vietnam dan Thailand, daya saing kawasan industri Tanah Air memiliki keunggulan sekaligus tantangan yang perlu dicermati secara objektif

Menurut Head of Industrial Services PT Leads Property Services Indonesia, Esti Susanti, berdasarkan testimoni para pelaku industri dan klien, salah satu keunggulan utama Indonesia terletak pada kualitas sumber daya manusianya.

Untuk kebutuhan tenaga kerja terampil (skilled people), terangnya, ternyata Indonesia dinilai masih unggul dibanding Vietnam maupun Thailand.

“Sejumlah klien kami bahkan menyebut bahwa tenaga ahli di Indonesia lebih siap, adaptif, dan memiliki kompetensi teknis yang lebih baik,” ungkap Esti Susanti kepada Realestat.id.

Baca Juga: EV-Related Dorong Kinerja Kawasan Industri Jabodetabek, Investor Masih Pantau Stabilitas Politik

Sebaliknya, untuk industri padat karya yang mengandalkan tenaga kerja dalam jumlah besar dengan keterampilan dasar, Vietnam kerap menjadi pilihan.

“Kalau yang dicari adalah blue collar dalam skala masif, Vietnam memang lebih kompetitif. Tapi kalau butuh tenaga kerja ahli, Indonesia masih lebih unggul,” tuturnya.

Di sisi lain, negara seperti Malaysia dinilai tidak sepenuhnya dapat dibandingkan secara langsung (apple to apple) dengan Indonesia, Vietnam, atau Thailand, karena memiliki karakter industri dan struktur ekonomi yang berbeda.

Populasi vs Regulasi

Lebih lanjut, Esti Susanti menerangkan, keunggulan lain sektor industri Indonesia adalah besarnya populasi.

“Dengan jumlah penduduk yang jauh lebih besar dibanding negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia menawarkan pasar domestik yang sangat menarik,” katanya.

Baca Juga: Pasar Lahan Kawasan Industri di Jabodetabek Mulai Tunjukkan Tanda Pemulihan

Bagi investor yang ingin memproduksi sekaligus mendistribusikan produk di dalam negeri, faktor ini menjadi nilai tambah signifikan.

“Produksi yang berorientasi pada pasar domestik membuat minat investasi di Indonesia tetap tinggi, terutama untuk sektor Fast Moving Consumer Goods (FMCG), otomotif, dan industri berbasis konsumsi massal,” urai Esti.

Namun, di balik berbagai keunggulan tersebut, persoalan regulasi masih menjadi pekerjaan rumah sekaligus tantangan terbesar yang harus diselesaikan.

Esti menuturkan, ketidakpastian kebijakan serta regulasi yang kerap tumpang tindih menjadi keluhan utama, tidak hanya dari kalangan pelaku di sektor industri, tetapi juga pengelola kawasan industri dan pemangku kepentingan lainnya.

“Ketidakjelasan aturan membuat proses investasi kerap berjalan lebih lambat dan penuh kehati-hatian, terutama untuk industri berskala besar dengan kebutuhan utilitas kompleks,” tegasnya.

Baca Juga: Lahan Industri di Karawang, Purwakarta, dan Subang Makin Diminati Investor

Potensi Kawasan Baru: Subang, Karawang, dan Kertajati

Esti Susanti menjelaskan, sejumlah kawasan industri di Jawa Barat terus berkembang dengan karakteristik yang berbeda-beda.

Karawang, misalnya, telah masuk kategori kawasan industri matang (mature), dengan dominasi sektor otomotif dan FMCG.

Namun, keterbatasan lahan membuat pelaku sektor industri melakukan ekspansi semakin masif  ke wilayah sekitar, seperti Purwakarta, Subang, dan Majalengka.

“Subang menjadi sorotan setelah masuknya produsen kendaraan listrik asal China: BYD. Kehadiran BYD diyakini akan menarik ekosistem industri pendukung, mulai dari supplier hingga distributor kendaraan listrik,” urainya.

Sementara itu, kawasan Majalengka berkembang dengan karakter industri berteknologi tinggi yang tidak terlalu bergantung pada gas—bahan bakar utama yang vital bagi banyak sektor industri.

“Industri otomasi dan manufaktur berbasis listrik mulai mendominasi. Beberapa pabrik sepatu berteknologi tinggi hingga industri makanan besar seperti Mie Gacoan diketahui telah beroperasi di wilayah tersebut, memanfaatkan mesin berbasis listrik dan otomasi,” terang Esti.

Baca Juga: Bekasi dan Tangerang Tak Lagi Jadi Kawasan Industri Utama, Ini Penggantinya!

Gas atau Energi Terbarukan?

Selain regulasi yang tumpang tindih, keterbatasan pasokan gas juga menjadi tantangan tersendiri, karena sangat dibutuhkan industri manufaktur.

Banyak kegiatan produksi masih sangat bergantung pada gas alam (LNG), karena harganya lebih kompetitif dibanding alternatif lain seperti CNG.

Keterbatasan pasokan gas inilah yang menyebabkan beberapa rencana investasi, khususnya di sektor makanan dan minuman, tertunda atau batal terealisasi di wilayah tertentu.

“Industri yang membutuhkan gas dalam jumlah besar, khususnya sektor makanan dan minuman (FMCG), masih menghadapi kendala untuk masuk ke kawasan pengembangan baru seperti Majalengka,” papar Esti.

Di sisi lain, imbuhnya, pemanfaatan energi terbarukan, khususnya panel surya, sebenarnya memiliki potensi besar di kawasan industri Indonesia.

Baca Juga: Sektor Industri Indonesia Berpeluang Tumbuh di Tengah Perang Dagang Global

Sayangnya, implementasinya masih terbatas akibat regulasi dan kerja sama eksklusif antara kawasan industri dan penyedia listrik.

Di kawasan seperti Bekasi dan Cikarang, penggunaan panel surya oleh tenant industri masih dibatasi, umumnya hanya sekitar 10%–15% dari total kebutuhan listrik.

“Meski belakangan mulai ada kelonggaran hingga 20%–30%, hal ini belum berlaku merata di semua kawasan,” tambahnya.

Esti mengungkapkan, beberapa kawasan industri yang dikelola pemerintah, seperti Batang, dinilai lebih progresif dalam mengizinkan pemanfaatan panel surya, terlebih karena di wilayah tersebut juga terdapat tenant produsen panel surya.

Dia menerangkan, selain penggunaannya masih dibatasi pemerintah, dari sisi bisnis, investasi panel surya masih membutuhkan belanja modal (capex) yang besar.

“Namun, dalam jangka panjang—20 hingga 30 tahun—potensi penghematan biaya energi dinilai signifikan. Hal ini mensyaratkan komitmen jangka panjang investor untuk beroperasi di Indonesia,” jelasnya.

Baca Juga: Geser Data Center, Otomotif Dominasi Sektor Industri di Jabodetabek

Kendala Tenaga Kerja

Selain utilitas, ketersediaan tenaga kerja juga menjadi perhatian utama di kawasan industri baru seperti Subang dan Majalengka. Meski upah relatif lebih kompetitif, jumlah tenaga kerja lokal masih dinilai terbatas.

Menurut Esti Susanti, untuk mengatasi hal ini, beberapa pengelola kawasan industri telah menjalin kerja sama strategis dengan pemerintah daerah.

“Surya Cipta, misalnya, memiliki program pendidikan vokasi dan kerja sama dengan pemerintah setempat di Karawang untuk memastikan pasokan tenaga kerja bagi para tenant,” tuturnya.

Sementara di Majalengka, pengelola kawasan industri juga telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Dinas Tenaga Kerja setempat, bahkan hingga ke wilayah Sumedang.

“Skema ini memastikan proses rekrutmen tenaga kerja tidak hanya menjadi tanggung jawab pengembang kawasan, tetapi juga mendapat dukungan aktif dari pemerintah daerah,” pungkasnya.

Redaksi@realestat.id

Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

4 × three =