RealEstat.id (Jakarta) – Di negeri dengan tanah yang subur tapi konflik lahannya tak pernah kering, sertifikat bukan sekadar dokumen, namun sebuah tiket hidup, jaring pengaman, sekaligus luka sejarah yang sulit sembuh cepat.
Dari sawah di desa hingga apartemen di kota besar, dari warisan keluarga hingga proyek raksasa developer, satu hal yang diperebutkan: kepastian hukum atas tanah.
Kini pemerintah meluncurkan sertifikat tanah elektronik. Sebuah lompatan digital yang diklaim modern, efisien, dan aman.
Pertanyaannya, apakah rakyat percaya? Anda yang tengah membaca percaya 100%? Atau justru mencurigai bahwa konflik lama hanya dipindahkan dari lembaran kertas ke layar komputer? Pun hanya sekian persen curiga adalah bahaya bagi public trust ke negara di era serba digital.
Baca Juga: ATR/BPN: 96,9 Juta Bidang Bersertifikat, Pendaftaran Tanah Capai 98%
Legalitas Sah, Sosialitas Gelisah
Secara formal, sertifikat tanah elektronik sah menurut hukum. Pasal-pasal regulasi sudah jelas mengafirmasi: medium tidak menentukan validitas, akan tetapi pengakuan negara-lah yang memberi kekuatan tenaga raga juncto wibawa jiwa hukum negara.
Tetapi hukum bukan hanya teks. Hukum juga harus hidup dalam hidup sosialitas masyarakat. Hukum yang bersua dan berangkulan akrab dengan masyarakatnya. Tanpa tikaman dari belakang.
Dan dalam hukum yang hidup (living law), rakyat masih memegang erat keyakinan sederhana: “Kalau tidak ada sertifikat di lemari, bagaimana bisa yakin tanah ini milik saya?”
Fakta di lapangan menunjukkan adanya jurang: hukum formal tertulis a.k.a legalistis yang maju secara digital, berhadapan dengan hukum yang hidup dalam jiwa masyarakat yang masih berpegang pada simbol fisik. Jurang inilah yang bisa membuat sertifikat tanah elektronik sekadar “legalitas tanpa legitimasi sosial.”
Baca Juga: Akses Lewat Aplikasi Sentuh Tanahku, Begini Bentuk Sertifikat Elektronik
Trust: Jantung yang Bocor
Masalah terbesar bukan teknologi, melainkan kepercayaan publik. Pertanyaan publik bukan hanya “apakah aman dari peretasan?” atau “bagaimana kalau sistem error?”
Pertanyaannya lebih mendasar: apakah negara benar-benar mampu menjamin hak rakyat? Lepas dari non-state actor criminal yang pengkhiatanan negara.
Publik masih dihantui memori buruk: tumpang tindih sertifikat, mafia tanah, ordal aparat nakal, hingga sengkarut sengketa agraria yang kusut masai berlarut-larut. Banyak yang punya sertifikat, tetapi tetap kalah karena sistem hukum tidak berpihak.
Jika di atas kertas tak berjiwa saja negara sering gagal menjaga hak tanah warga, aha bagaimana mungkin publik percaya pada data digital yang tidak kasat mata?
Baca Juga: Mitigasi Risiko Sertifikat Tanah Elektronik dalam Bisnis Properti
Negara, Penjamin Terakhir
Esensinya jelas: sertifikat tanah adalah janji negara. Janji bahwa hak atas tanah diakui, dilindungi, dihormati, disayangi, dan dijamin tanpa seinci pun lunglai negara.
Digitalisasi tanpa trust ke negara hanyalah fatamorgana. Trust tanpa digitalisasi masih bisa bertahan, karena lahir dari bukti nyata, bukan klaim modernitas.
Pertanyaan masyarakat yang harus dijawab negara hanya sederhana-juncto singkat namun fundamental: Apakah sengketa tanah bisa diselesaikan cepat dan adil? Apakah mafia tanah benar-benar diberantas, bukan dilindungi?
Pertanyaan lain yang harus terjawab: apakah data pertanahan benar-benar aman sentosa dari manipulasi? Dari migrasi data digital? Bahkan ke panggalan data luar negeri?
Baca Juga: Begini Cara Mendaftar Hak Tanggungan Elektronik dan Roya Elektronik
Epilog: Aturan Harus Hidup
Aturan harus dibuat di atas hidup manusia, bukan sebaliknya. Hukum yang tidak hidup dalam masyarakat hanyalah bangkai teks regulasi mati.
Sertifikat tanah elektronik bukan sekadar proyek teknologi, namun adalah program ujian berkelanjutan. Ujian apakah tenaga raga dan wibawa jiwa negara benar-benar hadir sebagai penjaga hak rakyat, atau hanya sekadar operator aplikasi.
Pada akhirnya, pertanyaan pamungkas tetap sama: sahkah sertifikat elektronik? Ya, sah. Tapi apakah dipercaya? Belum tentu. Kalau menurut pembaca?
Karena pada tanah, hukum, dan sertifikat—yang terpenting bukan sekadar sah secara legal, melainkan hidup dan dipercaya oleh rakyat. Tabik.
Artikel ini ditulis oleh: Muhammad Joni, SH, MH.
Penulis praktisi hukum perumahan, Managing Partner Joni &Tanamas Law dan Advokat – Praktisi Hukum Perumahan, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia
Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News