RealEstat.id (Jakarta) – PT Sri Rejeki Isman Tbk yang dikenal dengan Sritex sudah dinyatakan pailit dan kini dihantam skandal korupsi.
Kepailitan yang mendera menimbulkan dampak kerugian bagi karyawan-karyawati atas kelangsungan pekerjaan mereka di perusahaan ini.
Pemeriksaan atas adanya dugaan tindak pidana korupsi membuat Direksi dan Komisaris terancam hukuman pidana.
Risiko hukum tindak pidana korupsi ini juga dapat menjerat pejabat bank pemutus kredit dan pegawai bank yang memproses kredit.
Baca Juga: Tanah Sitaan untuk Bangun Perumahan Rakyat, Bagaimana Aturan Hukumnya?
Status Pailit
PT Sri Rejeki Isman Tbk dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang pada Senin 21 Oktober 2024.
Pailitnya Sritex disebabkan karena perusahaan gagal memenuhi kewajiban pembayaran utang sesuai kesepakatan dengan kreditur dalam putusan homologasi No.12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga Smg tanggal 25 Januari 2022.
Salah satu kreditur Sritex, PT Indo Bharat Rayon mengajukan permohonan pembatalan putusan homologasi pada tanggal 24 Agustus 2024 dengan register Nomor 2/Pdt.Sus-Homo-logasi/2024/PN Niaga Smg jo. Nomor 21/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Smg.
Permohonan pembatalan putusan homologasi dilakukan dengan alasan Sritex tidak kunjung menyelesaikan kewajiban pembayaran utang sebesar Rp127.969.059.783 kepada PT Indo Bharat Rayon.
Permohonan pembatalan ini dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang menyebabkan Sritex dan 3 (tiga) anak perusahaannya yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries dan PT Primayudha Mandirijaya jatuh dalam pailit.
Baca Juga: Abai Lindungi Data Pribadi Konsumen Properti, Ini Ancaman Sanksinya!
Kepailitan Sritex sebelumnya berasal dari proses PKPU yang menghasilkan kesepakatan perdamaian. Perdamaian ini disahkan (dihomologasi) oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga.
Pada Mei 2021, PT Sritex resmi dinyatakan PKPU dengan nilai tagihan kurang lebih senilai Rp12,9 triliun dalam putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No.12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga Smg.
Kalau ditelusuri lebih jauh, permasalahan ini berawal pada 2021 Sritex tidak mampu membayar tagihan utang sindikasi senilai US$350 juta.
Mereka bermaksud mengajukan restrukturisasi namun keadaan ini menimbulkan kekhawatiran bagi para kreditur lain atas kondisi keuangan perusaan ini.
Para kreditur yaitu CV Prima Karya, Bank QNB Indonesia, PT Swadaya Graha dan PT Rayon Utama Makmur serta PT Indo Bahari Ekspres. CV Prima Karya mengajukan permohonan PKPU pada hari Senin tanggal 19 April 2021.
Baca Juga: Mitigasi Risiko Sertifikat Tanah Elektronik dalam Bisnis Properti
Permohonan PKPU itu juga turut menyertakan 3 (tiga) anak Perusahaan Sritex sebagai Termohon PKPU yaitu PT Sinar Pantja Djaja (Termohon PKPU II), PT Bitratex Industries (Termohon PKPU III) dan PT Primayudha Mandirijaya (Termohon PKPU IV).
Menurut UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebuah perusahaan dapat dimohonkan pailit apabila perusahaan memiliki dua atau lebih kreditur, dan terdapat satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Disamping itu pemohon pailit harus dapat menyampaikan fakta adanya utang yang dapat dibuktikan secara sederhana.
Pasca putusan pailit, Sritex mengajukan upaya hukum kasasi atas penetapan pailit. Namun, permohonan kasasi ini ditolak, oleh Mahkamah Agung RI.
Sritex tidak menyerah begitu saja, mreka mengajukan upaya hukum peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI.
Baca Juga: Tiga Cara Mencegah Terjadinya Sengketa Tanah
Skandal Korupsi
Setelah ditetapkan dalam keadaan pailit, Sritex kembali diterpa kasus korupsi. Pada 20 Mei 2025, ISL ditahan Kejagung karena terdapat dugaan kuat adanya tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit.
Kredit ini disalurkan PT BPD Jawa Barat dan Banten, PT Bank DKI, Bank PPD Jawa Tengah serta sindikasi BRI, BNI dan Lembaga Penjaminan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (PT Sritex) dan entitas anak usaha.
Dalam perkembangannya saat ini sudah ditetapkan 3 (tiga) orang yang ditetapkan sebagai tersangka yaitu DS selaku pimpinan divisi komersial dan korporasi Bank BJB, ZM selaku Direktur Utama Bank DKI tahun 2020 dan ISL yang merupakan Komisaris Utama Sritex.
Mereka bertiga dijerat dengan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 juncto pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tagihan yang belum dilunasi Sritex itu merupakan pinjaman dari Bank Jateng senilai Rp395,66 miliar, Bank BJB Rp543,98 miliar, Bank DKI Rp149 miliar, serta bank sindikasi BRI, BNI dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) senilai Rp.2,5 triliun.
Baca Juga: Penting Disimak! Ranah Penyelesaian Sengketa Utang Pengembang Apartemen
Disamping Bank BUMD dan Bank BUMN, Sritex juga dikabarkan juga memperoleh pemberian kredit dari 20 bank swasta.
Dari pemberitaan yang muncul, Tim penyidik Kejaksaan Agung awalnya mencurigai adanya keganjilan dalam laporan keuangan Sritex.
Laporan keuangan itu mencatatkan kerugian senilai USD 1,08 miliar atau Rp.15,65 triliun pada tahun 2021.
Padahal setahun sebelumnya, Sritex dalam laporannya menyampaikan perusahaan meraup keuntungan sampai USD 85,32 juta atau Rp.1,24 triliun.
Fakta lain yang ditemukan penyidik adalah kredit yang diperoleh Sritex diduga tidak digunakan sebagaimana tujuan awal.
Manajemen Sritex juga diduga menggunakan kredit modal kerja tersebut untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif.
Baca Juga: Pengembang Apartemen Pailit, Debitor KPA Tersandera: Bagaimana Solusinya?
Lesson Learned
Kegagalan Perusahaan dalam pengelolaan utang dapat berakibat panjang. Risiko hukum dapat mendera bukan hanya risiko dipailitkan atas permohonan kreditur tetapi juga menjadi obyek tindak pidana korupsi.
Bahkan risiko hukum tindak pidana korupsi ini dapat berkembang menjadi tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Pengajuan permohonan kredit dan pemrosesannya harus tetap patuh (compliance) terhadap ketentuan dan persyaratan yang berlaku.
Perusahaan sebagai pemohon kredit dan pegawai bank jangan abai dengan regulasi baik yang diatur secara eksternal maupun secara internal bank.
Risiko hukum tindak pidana korupsi ini berpotensi menjerat jajaran direksi dan komisaris perusahaan debitur dan pegawai bank di Bank BUMN/BUMD apabila mengabaikannya.
Baca Juga: Tanggung Jawab dan Risiko Pemberi Personal Guarantee Dalam Kredit Perbankan
Perjanjian utang yang dituangkan dalam perjanjian kredit harus dicermati, jangan dibiarkan sampai jatuh tempo sementara kewajiban utang masih belum lunas.
Lakukan upaya hukum restrukturisasi sehingga dapat dilakukan langkah-langkah reschedulling, restrukturing atau reconditioning.
Sehingga jangka waktu perjanjian dapat diperpanjang agar pembayaran kewajiban menjadi lebih ringan sesuai kemampuan.
Kegagalan dalam penyelesaian utang (default) oleh debitur di bank tidak menjadi tindak pidana korupsi sepanjang dapat dibuktikan bahwa hal itu disebabkan murni karena risiko bisnis.
Jajaran direksi dan komisaris perusahaan dan perbankan dapat terhindar dari risiko tindak pidana korupsi apabila dapat membuktikan tindakannya dan keputusan persetujuan pemberian kredit dilakukan dalam koridor prinsip business judgment rule.
Artikel ini ditulis oleh: Dzaky Wananda Mumtaz Kamil, SH, MH.
Penulis adalah Director Vox Law, Praktisi Hukum Properti dan Perbankan yang berdomisili di Jakarta. Korespondensi dapat dilakukan melalui email: dzakywanandamumtazk@gmail.com
Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News